PEMILU INDONESIA ANTI PANCASILA?


PEMILU INDONESIA ANTI PANCASILA?
OLEH: I Nengah Agus Tripayana, M.Pd
Indonesia adalah negara demokrasi terbesar No. 3 di dunia setelah Amerika dan India. Gelaran demokrasi di Indonesia yang dilaksanakan melalui pemilu telah dimulai sejak Tahun 1995. Akan tetapi, gelaran pemilu yang dilaksanakan secara langsung dan terbuka untuk pemilihan presiden dan wakil presiden, baru dimulai pertama kali Tahun 2004. Pemilu Tahun 2004, diikuti oleh 24 partai politik dan dilaksanakan secara bertahap. Tahap pertama dilaksanakan pada tanggal 5 April 2004, untuk memilih anggota DPD, anggota DPR, anggota DPRD Provinsi dan angota DPRD Kabupaten. Tahap kedua dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 2004 untuk memilih presiden dan wakil presiden yang di ikuti oleh 5 pasangan calon dan dilanjutkan dengan putaran kedua yang dilakukan pada tanggal 20 September 2014.
Pada pemilu Tahun 2004, pertama kali KPU selaku penyelenggara pemilu memperkenalkan konsep pemilu Luberjurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil). Yang berarti bahwa setiap pemilih dapat memilih calon peminpin yang diinginkan, dan dapat memilih secara langsung dengan cara mencoblos gambar calon, serta dilaksanakan secara umum dan bebas dalam memilih calon dengan jaminan kerahasiaan serta dijamin jujur dan adil. Pemilu 2004 diikuti oleh 116.662.705 orang pemilih yang menggunakan hak suaranya. Gelaran pemilu Tahun 2004 dianggap cukup sukses, selain karena pemilu 2004 adalah pemilu pertama yang dilaksanakan secara langsung dan demokratis juga karena pelaksanaan pemilu berlangsung dengan sukses dan damai, tanpa ada intimidasi, atau kerusuhan yang berarti.
Pemilu berikutnya dilaksanakan pada Tahun 2009, pemilu Tahun 2009 diikuti oleh 38 partai politik dan dilaksanakan secara serentak pada tanggal 9 April 2009 untuk memilih 560 anggota DPR, 132 anggota DPD serta anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota seluruh Indonesia. Kemudian di Tahun 2014 kembali dilaksanakan pemilu yang dilaksanakan melalui dua tahap. Tahap pertama dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014 yang diikuti oleh 12 anggota partai politik. Pemilu 2014 diagendakan untuk memilih 560 anggota DPR, 32 anggota DPD, anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Indonesia atau yang biasa disebut sebagai pemilu legislatif. Sementara untuk pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden dilaksanakan pada Tanggal 9 Juli 2014 yang diikuti oleh 2 pasang calon.
Kini menjelang Tahun 2018 dan 2019, masyarakat Indonesia akan kembali disibukan dengan gelaran pergantian tampuk kepeminpinan baik pileg, pilkada, maupun pilpres. Hingga saat ini, tercatat sebanyak 171 pemerintah daerah, yang terdiri dari 17 provinsi, 39 kota serta 115 kabupaten akan mengikuti gelaran pilkada serentak. Selain itu di Tahun 2019, masyarakat Indonesia juga akan kembali melakukan pemilu untuk memilih calon presiden dan wakil presiden, serta memilih anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Jika kita evaluasi, dari 3 kali perhelatan besar pemilu di Indonesia, yaitu dari Tahun 2004, 2009, 2014. Pelaksanaan pemilu di indonesia ibarat dua sisi mata uang, satu sisi pemilu dengan sistem pemilihan langsung yang melibatkan seluruh masyarakat Indonesia, dianggap menjadi sistem yang paling cocok diterapkan menuju negara modern, terutama negara dengan wilayah yang luas dan penduduk besar. Demokrasi langsung juga diyakini sebagai sistem yang mampu menjaga integrasi keberagaman Bangsa Indonesia. Salah satu hal penting dalam proses demokrasi adalah adanya proses transisi kepemimpinan, mulai dari kepala desa, bupati/walikota, gubernur, anggota legislatif, hingga presiden. Selain itu pula, demokrasi langsung dapat menjauhkan Negara Indonesia dari sitem pemerintahan otoriter, layaknya pemerintahan pada masa orde baru.
Disisi lain, pelaksanaan demokrasi langsung yang diterapkan di Indonesia juga  menimbulkan berbagai dampak negatif. Mulai dari pemborosan anggaran, banyaknya perangkat pemilu, lamanya waktu pelaksanaan, permasalaahan disintegrasi bangsa yang muncul, hingga out put calon peminpin terpilih yang tidak sesuai dengan harapan, Banyaknya kasus money politik dan KKn.
Dalam hal besarnya pembiayaan, pemilihan bupati/walikota setidaknya rata-rata menghabiskan dana sebesar Rp 25 miliar sedangkan pemilihan gubernur menghabiskan dana Rp 500 miliar. Jika dana Rp 25 miliar itu dikalikan 505 kabupaten/kota di Indonesia dan Rp 500 miliar dikalikan 34 provinsi (Kemendagri, 2013), kemudian ditambah biaya Pemilu 2014 sebesar Rp16 triliun, maka dalam jangka waktu lima tahun rakyat harus membiayai pesta demokrasi sebesar Rp 45 triliun lebih. Jumlah di atas belum termasuk biaya kampanye setiap calon yang jumlahnya tidak kalah besar. Sebagai gambaran, biaya kampanye calon presiden 2014 ditaksir mencapai Rp7 triliun (Rakyat Merdeka, 2013), sementara ongkos kampanye caleg DPR RI mencapai Rp10 miliar. Jika setiap perhelatan pemilihan terdapat minimal dua calon, maka jumlah dana kempanye tersebut bisa jadi lebih besar dari anggaran penyelenggaraan pemilu itu sendiri. Berarti dalam jangka waktu lima tahun dana pemilu dan kampanye mencapai sekitar Rp100 triliun.
Dengan jumlah dana sebesar itu, Indonesia dapat membangun ribuan sekolah di Papua, atau ratusan bendungan dan jembatan di NTT. Dana yang demikian besar tidak sebanding dengan hasil yang didapatkan. Jika dana yang dihabiskan untuk gelaran pemilu  tersebut menghasilkan peminpin-peminpin bangsa yang berkwalitas, mungkin masih dapat dimaklumi. Namun sayangnya ongkos politik yang demikian besar malah menghasilkan peminpin peminpin yang korup. Dari Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2017 saja, terdapat lebih dari 313 kepala daerah yang ditangkap karena korupsi (Jawa Post, 2017). Dalam kurun waktu 6 Bulan, dari tanggal 1 Jnauari hingga 30 juni 2017 ICW mencatat ada 226 kasus korupsi dengan jumlah tersangka 587 orang yang merugikan negara sebesar Rp 1,83 Triliun (Detiknews, 2017). Awal Tahun 2018 ini, kita dipertontonkan oleh drama Ketua DPR yang terlibat korupsi E-KTP yang merugikan negara lebih dari 2,5 Triliun. Belum lagi beberapa calon gubernur dan bupati walikota yang akan berlaga di pilkada 2018 ditangkap OTT KPK karena terlibat korupsi untuk dana pemilu. Virus korupsi telah menyerang segala lini pemerintahan, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Selain itu, ornag orang yang terlibat, tidak hanya pegawai golongan rendah namun telah menyerang pucuk-pucuk pimpinan tertinggi lembaga negara, seperti; Mentri, Ketua DPR, Ketua MK, Polisi, Kejaksaan dan lembaga tinggi lainnya.
Dari segi ancaman, pelaksanaan pemilu yang melibatkan banyak masa juga sangat rentan terhadap munculnya ancaman disintegrasi bangsa. Pelaksanaan pemilu akan menghasilkan satu pihak yang kalah dan satu pihak yang menang. Ketidak siapan untuk menerima kekalahan biasanya dijadikan sebagai alibi untuk melakukan kekerasan. Selain itu, penyelenggaraan pemilu yang tidak adil, juga dapat menjadi penyebab terjadinya tindak kekerasan. Beberapa tindak kekerasan yang sering dilakukan berkaitan dengan pilkada seperti pembakaran kantor KPU, penyerangan posko lawan politik, teror dan aksi kekerasan lainnya. Kasus yang terbaru adalah munculnya isu SARA dalam pilkada sampai dengan penyebaran berita bohong atau Hoax untuk menghasut kelompok-kelompok tertentu yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Selain itu, jika pemilu langsung yang ada saat ini dikaji dari sisi ideologi Pancasila, terutama sila ke 4, maka akan ditemukan adanya kontradiksi. Sila ke-4 yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” berbeda dengan pemilu saat ini yang dilaksanakan melaui voting langsung dan umum. Sementara itu, ideologi negara menghendaki adanya demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila dilaksanakan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat, atau perwakilan. Sedangkan demokrasi yang ada saat ini adalah demokrasi liberal yang memberikan kebebasan sebebas-bebasnya kepada semua orang untuk memenangkan susatu pemilu dengan cara apapun.
Nilai-nilai luhur demokrasi yang diperjuangkan dalam pemilu, seperti pengorbanan atas dasar kesamaan ideologi dan kepentingan bersama untuk memperjuangkan kemakmuran rakyat, berubah menjadi perebutan kekuasaan untuk memperjuangkan kelompok tertentu saja. Adapun nilai-nilai perjuangan yang diusung untuk kemakmuran rakyat dan kemajuan bangsa hanya menjadi pemanis dalam kampanye. Partai-partai politik seperti kehilangan ideologi dan garis perjuangan bersama. Semua hanya berfokus pada perebutan kekuasaan dan uang. Momen pilkada 2018 dan pilpres 2019 harus dijadikan sebagai restorasi perubahan terhadap perpolitikan di Indonesia. Nilai-nilai luhur dalam politik harus diperjuangkan kembali oleh seluruh masyarakat selaku pemilik suara yang menentukan masa depan Bangsa Indonesia.
Masyarakat Indonesia memang belum siap untuk menjalani demokrasi bebas yang cenderung liberal. Sudah saatnya demokrasi Indonesia dikembalikan pada garis yang benar sesuai dengan ideologi bangsa dan amanat UUD 1945. Sebagaimana yang dikatakan Soekarno bahwa nilai-nilai Pancasila digali dan dikristalisasi dari dalam diri Bangsa Indonesia. Maka nilai nilai gotong royong, musyawarah untuk mencapai mufakat kita aplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam kehidupan politik.







Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENSYUKURI BERKAH KEBERAGAMAN