Kearifal lokal pembentuk budaya kewarganegaraan menuju Integrasi Nasional
Kearifal
lokal pembentuk budaya kewarganegaraan menuju Integrasi Nasional
Oleh: I Nengah Agus Tripayana, M.Pd
Istilah budaya kewarganegaraan atau civic culure pertama kali diciptakan oleh
Gabriel Almond dan Sidney Verba pada tahun 1963 dalam bukunya The Civic Culture untuk menjelaskan
perilaku hubungan politik dan sosial yang dianggap penting bagi keberhasilan
demokrasi modern. Lebih lanjut Bridges (1994, hlm. 20) menerangkan bahwa:
“What is
true of the sphere of culture in general has special application to the
specific form of culture I have called civic culture. A very special kind of
persuasive process is required to gain and retain adherence to the norms proper
to the standpoint of liberal democratic citizenship. As I have noted, a civic
culture is a type of countervailing culture. Liberal democracy as a form of
political association is defined by the rather unusual assumption that the
citizens of any particular liberal democracy will disagree fundamentally in
their concepts of the good life. As members of the civic community, citizens
will also be members of one or more particularistic cultural communities”.
Penjelasan diatas dapat dijelaskan bahwa “apa yang benar dari
bidang budaya pada umumnya memiliki aplikasi khusus untuk bentuk spesifik
budaya yang saya sebut budaya warga negara atau civic culture. Semacam jenis yang sangat istimewa, proses persuasif
diperlukan untuk mendapatkan dan mempertahankan kepatuhan terhadap norma-norma
yang tepat untuk sudut pandang kewarganegaraan demokratis liberal. Seperti yang
saya catat, budaya warga negara atau civic
culture adalah jenis budaya tandingan. Demokrasi liberal sebagai bentuk
asosiasi politik didefinisikan oleh asumsi yang agak tidak biasa bahwa warga
setiap demokrasi liberal tertentu tidak akan setuju fundamental dalam konsep
mereka tentang kehidupan yang baik. Sebagai anggota masyarakat sipil, warga juga akan menjadi
anggota dari satu atau lebih komunitas budaya partikularistik”.
Civic culture merupakan “budaya yang menopang
kewarganegaraan yang berisikan separangkat ide-ide yang dapat diwujudkan secara
efektif dalam representasi kebudayaan untuk tujuan pembentukan identitas warga
negara.” Masyarakat sipil yang demokratis tidak mungkin berkembang tanpa
perangkat budaya yang diperlukan untuk melahirkan warganya. Karena itu pula
negara harus mempunyai komitmen untuk memperlakukan semua warga negara sebagai
individu dan memperlakukan semua individu secara sama. (Winataputra, 2012:57).
Sementara itu, pengertian civic culture dalam pengertian budaya dijelaskan oleh Budimansyah
dan Suryadi (2008), dijelaskan bahwa:
Civic culture adalah sikap dan tindakan
yang terlembagakan yang dibangun atas dasar nilai-nilai yang menekankan
pentingnya hak partisipasi warga negara untuk mengambil keputusan-keputusan
yang berkaitan dengan berbagai aspek kepentingan publik. Partisipasi ini
dibangun atas hal-hal yang mendasar, diantaranya:
a.
Egalinrianisme atau hubungan
timbal balik secara horizontal sesama warga
b.
Pluralisme dimana perbedaan
paham, kepercayaan, dan kepentingan sesama warga diterima sebagai kenyataan
hidup yang harus dihargai, karena toleransi sosial politik memberi ciri krusial
terhadap civic community.
c.
Rasa
saling percaya (trust) dan
solidaritas sesama warga.
Civic culture memberikan
kontribusi dalam membangun identitas kewarganegaraan atau ke-Indonesiaan setiap
warganegara, termasuk para pelaku politik dalam berbagai latar. Dengan demikian
prilaku politik dari para pelaku politik seperti anggota dewan perwakilan
rakyat, para pejabat negara, dan praksis menggambarkan karakter ke-indonesiaan,
bukan karakter komunitariaan suku, agama, golongan dan partai politik
(Winataputra & Budimansyah, 2012).
Indonesia sebagai negara
yang terdiri dari beranekaragam suku bangsa, dalam membentuk identitas
kewarganegaraan atau jiwa ke Indonesiaan sebagai ciri identitas warga negara
yang membedakannya dengan warga negara lainnya dibentuk melalui berbagai
kearifan lokal atau (logal genius)
yang ada dan tersebar di berbagai daerah yang ada di Indonesia. Kearifan lokal
yang ada tersebut menyimpan berbagai keunikan satu sama lain, namun pada
dasarnya memiliki nilai-nilai moral yang sama, seperti nilai kekeluargaan,
persaudaraan, tenggang rasa, toleransi, saling menghargai, persatuan dan lain
sebagainya. Kearifan lokal tersebut ada di berbagai Provinsi di Indonesia,
diantaranya;
1. Bali
Terdapat berbagai macam potensi kearifan lokal dalam masyarakat Bali yang mengandung
nilai-nilai moral,
kearifan lokal tersebut ada dalam tulisan sehingga bisa dipelajari
maupun yang dipraktikan oleh masyarakat dalam aktivitas kehidupan sehari-hari.Setiap aktivitas keseharian masyarakat
Bali selalu berhubungan dengan adat dan tradisinya, hal itu menjadikan adat dan
tradisi yang ada mengakar kuat dan mendarah daging dalam sanubari masyarakat
Bali (Hendriatianingsih, 2008). Adanya suatu keyakinan dari masyarakat Bali,
apabila suatu tradisi yang diwariskan dari para leluhur mereka tidak dilakukan
atau terputus pada satu generasi, maka akan dapat mendatangkan bencana bagi
keturunan mereka. Sebaliknya apabila tradisi tersebut terus dilaksanakan,
dipercaya akan mendatangkan kebahagiaan dan rejeki yang melimpah. Secara tidak
langsung, dengan adanya keyakinan tersebut, membuat tradisi yang ada dijadikan
oleh masyarakat sebagai sebuah kebiasaan yang terus dilakukan secara berulang. Sebagaimana
yang diungkapkan Geriya (2008, hlm. 106);
“Apabila dilihat pada kebudayaan Bali, unsur-unsur teknologi,
organisasi sosial, sistem pengetahuan dan kesenian tampak jelas memiliki
keunikan bila dibandingkan dengan kebudayaan di daerah lainnya di Nusantara,
dan menjadi kebanggaan tersendiri bagi pendukungnya. Hal inilah yang menjadi
salah satu faktor yang menyebabkan Bali terkenal sampai ke mancanegara. Sebagai
contoh adalah bidang bahasa, sampai saat ini masyarakat Bali mengenal
tingkatan-tingkatan bahasa seperti yang terdapat pada suku Jawa.”
Berikut beberapa contoh nilai-nilai kearifan
lokal yang ada di Bali dan dilestarikan oleh masyarakat Bali sampai dengan saat
ini;
a. Menyama
Beraya
Menyama braya merupakan
konsep masyarakat Bali,
yakni penjabaran dari kodrat manusia sebagai mahluk sosial. Sebagai makhluk
sosial, pada hakekatnya manusia tidak dapat hidup sendiri. Oleh karena itu, ia
membutuhkan orang lain sebagai bagian yang tak terpisahkan untuk melanjutkan
hidup dan kehidupannya. Di Bali hampir setiap kegiatan, baik itu kegiatan yang
bersifat pribadi maupun kegaitan sosial, tidak dapat dilepaskan dari
ketergantungan terhadap orang lain. Hal ini dikarenakan, setiap kegiatan yang
dilakukan membutuhkan tenaga dan massa dalam ukuran yang banyak. Oleh
karenanya, dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, baik kegiatan adat, maupun
kegiatan-kegiatan keagamaan selalu dikerjakan secara bergotong royong.
Masyarakat adat di Bali pada umumnya sekaligus menjadi
anggota dalam berbagai pranata sosial dan sekaha-sekeha (kelompok berdasar
kesamaan hobi). Mulai dari skup terkecil yaitu krama banjar (anggota RW), krama
desa (warga Desa), krama karang
jineng (kekerabatan), sekeha gong (kelompok
gamelan), sekeha manyi (kelompok
tani), dan kelompok lainnya. Di Bali, hampir setiap minggu selalu ada kegiatan-kegiatan
bersama yang wajib dan harus diikuti oleh semua warga adat Bali, baik kegiatan
keagamaan, seperti; ngaben (kremasi
mayat), kundangan adat (kondangan), ngayah di pura (kerja sosial di tempat
sembahyang), maupun kegiatan sosial, seperti; membangun jalan, membuat tempat
ibadah, membantu tetangga membuat rumah, dan kegiatan sosial lainnya. Dalan setiap kegiatan tersebut, wajib diikuti
oleh semua warga, kecuali untuk warga yang berhalangan dengan alasan jelas.
Sebagai balasanya, semua warga di desa tersebut akan mendapatkan fasilitas dan
perlindungan dari pemerintah desa. Sebaliknya apabila ada salah satu warga yang
tidak aktif atau malas mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut akan mendapatkan
sanksi sosial, seperti; dikucilkan, didenda materi, sampai dikeluarkan dari
desa bersangkutan.
Keadaan tersebut menuntuk masyarakat Bali untuk dapat
mengaplikasikan konsep menyama braya
dalam kesehariannya. Menyama braya
dalam bahasa Bali berarti hidup bermasyarakat, dalam artian setiap orang yang
lahir dan menjadi warga tetap Bali harus menjalin hubungan yang baik dengan
anggota masyarakat lainnya, melalui berbagai kegiatan yang ada.
Setiap
anggota masyarakat harus dapat bersosialisai dan
bermasyarakat serta mampu membangun hubungan yang baik dengan anggota
masyarakat lainnya. Menyama
braya merupakan konsep ideal hidup bermasyarakat di Bali sebagai filosofi yang bersumber dari
sistem nilai budaya dan adat istiadat masyarakat untuk hidup rukun. Konsep
Menyama Braya, bertujuan memupuk dan mempererat rasa
persaudaraan dan kekeluargaan. Hal tersebut dapat dilihat dalam setiap tahap kehidupan bermasyarakat. Konsep menyama
braya ini sudah ada sejak zaman dahulu, karena konsep ini mampu mempererat
hubungan baik antar masyarakat Bali, maupun antar agama, suku dan ras yang berbeda. Konsep menyama
braya sejalan dengan konsep yang ada di kalangan masyarakat Islam, yang tercermin dari konsep Ukhuwah Islamiyahdan Rahmatan Lil Alamin, yakni dalam bentuk hubungan baik sesama
manusia. Sedangkan pandangan masyarakat Hindu mengenai menyama braya terwujud dalam bentuk Tat Tvam Asi dan Tri Hita
Karana selanjutnya dimaknai sebagai toleransi atau kebersamaan masyarakat
yang multi budaya, multi etnis dan multi agama. Sementara itu, David (2013),
menyatakan:
In a study in Bali, there is a local wisdom,
is called menyama braya (brother-brothers) as a
wisdom that is quite effective in maintaining Bali’s social harmony and
integration. Starting from some social facts above, researchers
are interested in conducting a research on national integration and social
harmony, which is based on the diversity of local wisdom in society, who
understood and believed as a frame/protector in the harmony of life/community
integration of the threat of disintegration and disharmony.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh David
tahun 2013 menyebutkan bahwa terdapat
suatu kearifan lokal
di Bali, yang
disebut menyama Braya (saudara-saudara).
David menyebutkan menyama braya tersebut
sebagai suatu kebijaksanaan yang
cukup efektif dalam menjaga harmoni sosial dan integrasi di Bali. Ia meyakini bahwa konsep menyama braya sebagai frame atau pelindung bagi adanya kerukunan hidup atau integrasi masyarakat dari ancaman disintegrasi dan
ketidakharmonisan.
b. Paras-paros
Sarpanaa,
Salulunglung Sabayantaka
Paras-paros
Sarpanaya dan
Salunglung Sabayantaka berarti hidup bersaudara, saling memaafkan, susah
dan senang ditanggung bersama. Konsep inilah yang membuat rasa persaudaraan dan
kebersamaan masyarakat Bali menjadi kuat. Paras-paros
sarpanaya dan salulunglung sabayantaka yang berarti saling mengisi dan mengasihi satu sama lain
hidup selaras saling memberi. Dalam berbagai ungkapan juga tercermin bagaimana
nilai-nilai kerbersamaan, kerja sama, gotong-royong itu dijunjung tinggi,
seperti tercermin dalam konsepsi sagilik saguluk, salunglung sabayantaka,
paras paros sarpanaya, beriuk saguluk. Konsepsi ini mengandung nilai
solidaritas yang tinggi dalam suka dan duka, baik dan buruk ditanggung bersama,
atau bersamasama dalam kegiatan baik suka maupun duka (Titib, dalam Suacana,
2015).
Dalam berbagai kasus yang ada, seperti pencurian dan
kekerasan, sering kali masalah terseut tidak diselesaikan melalui pendekatan
hukum, melainkan melalui pemecahan kekeluargaan. Hal ini tidak dapat dilepaskan
dari adanya konsep Paras-paros
sarpanaya dan salulunglung sabayantaka tersebut. Masyarakat cenderung menghindari penyelesaian
secara hukum, karena melihatnya sebagai balas dendam, dan lebih memilih
menyelesaikan permasalahannya secara kekeluargaan atau adat. Apabila pemecahan
secara kekeluargaan dan adat tidak menemukan solusi barulah akan diselesaikan
secara hukum.
Nilai-nilai
demokrasi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Bali telah mewariskan segi-segi berpikir positif
yang patut ditumbuhkembangkan dalam penguatan kehidupan demokrasi di Bali,
maupun Indonesia nantinya. paras paros (saling memberi dan menerima
pendapat orang lain); salunglung sabayantaka (bersatu teguh bercerai
runtuh); Konsepsi ini memberikan landasan yang luwes dalam komunikasi
kedalam maupun ke luar, sepanjang tidak menyimpang dari esensinya (Suacana,
2015).
c. Ngayah
Istilah
ngayah menjadi hal yang paling sering dibicarakan masyarakat Bali. Ngayah
dalam
bahasa Bali
berarti bekerja dan melayani dengan tulus,
ikhlas dan
tanpa pamrih. Ngayah
merupakan konsep bekerja melayani dengan penuh ketulusan tanpa mengharap
imbalan. Masyarakat Bali memiliki keyakinan bahwa ngayah merupakan bagian dari perbuatan baik yang dianjurkan agama,
yaitu saling membantu manusia dan meringankan beban.
Hampir tidak ada aktivitas keseharian masyarakat Bali
tanpa ada unsur ngayah. Ngayah biasa
dilakukan ketika ada pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan massa yang besar,
seperti membuat tempat ibadah, membangun jalan, menyiapkan bahan-bahan upakara,
membantu tetangga membangun rumah, maupun kegiatan lainnya. Orang-orang akan
datang dengan membawa alat yang diperlukan untuk mendukung pekerjaan. Mereka
akan bekerja tanpa tulus ikhlas tanpa meminta imbalan.
Selain karena kepercayaan, bahwa Tuhan mengajarkan untuk
membantu sesama, konsep ngayah juga
berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini dapat dilihat
ketika ada program-program pemerintah yang bersifat swadaya, seperti pembuatan
waduk yang membutuhkan lahan dan material, warga biasanya akan bahu membahu,
bermusyawarah untuk mensukseskan program tersebut dengan saling menawarkan
bantuan, dengan konsep ngayah untuk
Bangsa dan Negara.
d. Saling
Asah-asih-asuh
Saling
asah-asih-asuh dalam bahasa Bali berarti saling menjaga,
saling menyayangi dan saling mengasihi antar sesama makhluk. Dalam tradisi magibung, masyarakat Desa Pakraman Seraya mengenal
konsep saling asah-asih-asuh. Dalam
pengertian ini, masyarakat diharapkan
saling mangayomi satu sama lain, saling menjaga serta saling mengasihi.
Perasaan yang timbul karena didasarkan pada hubungan persaudaraan, menjadi
landasan bagi penerapan konsep ini. Setiap anggota masyarakat diharuskan untuk
saling manjaga. Selain itu, setiap
warga juga diharapkan
menjaga hubungan baik dengan semua orang.
fitriani
(2015) dalam penelitiannya mengenai peran keluarga dalam pengembangan kearifan
lokal Sunda, dikatakan bahwa; nilai silih asih, silih asah dan silih asuh berarti saling mengasihi, saling
memperbaiki diri (melalui pendidikan dan ilmu), serta saling melindungi. Ia
mnyebutkan nilai-nilai budaya yang senantiasa masih dikembangkan oleh
masing-masing keluarga meliputi; nilai-nilai sopan santun dan tata krama, serta
nilai-nilai ke-Sundaan, nilai-nilai keagamaan Islam dalam pameo silih asih,
silih asah, dan silih asuh yang masing-masing tercermin dalam aktivitas dan
interaksi sehari-hari anggota keluarga. Terdapat nilai-nilai budaya Sunda yang
memang menjadi ciri khas dari masyarakat Sunda atau orang Sunda yang tercermin
dalam pameo silih asih, silih asah, dan silih asuh. Orang-orang Sunda
dikenal sebagai individu yang ramah, religius.
e. Manut
Ring Awig-Awig
Manut ring awig-awig berarti
patuh terhadap aturan. Manut ring
awig-awig yang berarti menjalankan semua aturan tanpa melanggarnya. Teks awig-awig merupakan suatu tatanan sosial
masyarakat Bali. Sikap, tindakan, dan perilaku sosial masyarakat Bali tidak terlepaskan dengan tatanan sosial awig-awig.
Tatanan
sosial
ini
merupakan struktur dan
kultur yang menaungi kehidupan masyarakat Bali. Dalam realitas empirik di Bali, teks awig-awig dimiliki
oleh setiap Banjar adat, yang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama.
Dalam pembuatan teks awig-awig, ada varian antarbanjar adat. Desa-kala-patra (tempat, waktu, dan
keadaan) menjadi penentu seperti apa awig-awig harus disepakati dan digunakan oleh masyarakatnya (Manuaba, 2010).
Awig-awig,
biasanya berisi suatu aturan berfungsi
mengatur
pemeliharaan hubungan yang harmonis; antara manusia dengan Tuhan (parahyangan), dan manusia dengan manusia (pawongan)
dan manusia dengan lingkungan masyarakatnya (palemahan). Hubungan yang baik antara ketiga elemen
pembentuk alam semesta tersebut tercermin dalam setiap tingkatan pranata sosial
di masyarakat. serta, diaplikasikan dalam lingkungan keluarga, kelompok seka, banjar, desa dan masyarakat.
Soeripto (dalam Manuaba, 2010) memandang
bahwa
stabilitas desa
sebagian besar ditentukan
oleh
awig-awig yang telah hidup
dan berkembang
sesuai dengan kepentingan masyarakat desa
setempat. Sebagaimana halnya pertumbuhan dan perkembangan masyarakatnya, awig-awig dibuat oleh, untuk, dan dari krama desa serta dipelihara dan dilaksanakan dengan penuh kesadaran karena hal-hal yang diatur dalam awig-awig itu sebagai hal yang memang patut demikian. Hal yang dikatakan
Soeripto itu memang ideal, namun dalam realitasnya acapkali kurang sejalan dengan yang ideal.
Wiryawan, W.G, dkk. (2015)
menyatakan
keberadaan awig-awig
dalam hukum adat Bali sebagai aturan dasar yang mengatur tata kehidupan di desa pakraman yang substansinya dijiwai oleh Tri Hita
Karana sampai saat ini keberadaannya telah dituliskan
atau disurat, hal tersebut tidak menyebabkan
awig-awig
tersebut kehilangan sifat dinamisnya sesuai
dengan ciri Hukum Adat terutama
dalam menghadapi perubahan
sosial
di Bali. Kedinamisan awig-awig
tersebut secara
eksplisit diatunjukan dengan
adanya
pawos (pasal) yang
mengatur tentang “nguwah- nguwuhin awig awih”, yaitu ketentuan tentang adanya kemungkinan
dilakukan perubahan
terhadap substansi
awig-awig.
f. Tri
Hita Karana
Tri
Hita Karana terdiri dari kata tri yang berarti tiga, hita berarti
kebahagiaan, dan karana berarti
penyebab. Jadi, tri hita karana berarti
tiga penyebab adanya kebahagiaan di dunia dan di akhirat menurut ajaran Agama
Hindu. Ketiga penyebab kebahagiaan tersebut
yaitu, menjaga hubungan baik antara manusia dengan Tuhan yang disebut Parahyangan,
menjaga hubungan baik antara manusia dengan manusia atau yang biasa disebut pawongan, dan menjaga hubungan baik antara manusia
dengan alam atau palemahan. Magibung
mengajarkan
kepada masyarakat bahwa kehidupan membutuhkan keseimbangan. Konsep Tri Hita Karana dapat dijumpai di dalam setiap tahapan dalam pelaksanaan magibung. Konsep Parahyangan
atau
menjaga hubungan baik antara manusia dengan Tuhan, terlihat sebelum proses
makan dilakukan. Dalam kepercayaan Hindu, segala sesuatu makanan sebelum
dinikmati hendaknya dipersembahkan dahulu kepada para Dewa serta leluhur,
proses ini disebut ngejot.
Secara terminologi, konsep Tri Hita Karana berasal dari kata tri yang berarti tiga; hita
yang berarti bahagia dan karana yang
berarti sumber penyebab. Jadi tri hita
karana berarti tiga sumber penyebab adanya kesejahteraan, kebahagiaan
dalam
hidup (Wiana ketut, 2007, hlm. 5). Prinsip
utama dari
konsep tri hita karana adalah menjaga
keseimbangan dan keharmonisan antara
hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan
manusia dengan sesamanya, dan hubungan
manusia dengan lingkungan
alam.
Konsep ini menjadi pandangan masyarakat Desa
Pakraman Seraya, baik dalam
mengembangkan pola
berfikir,
berkata dan perilaku. Pandangan
ini dipegang
teguh oleh masyarakat Desa
Pakraman Seraya dalam usaha memenuhi
kebutuhan dan memecahkan masalah-masalah kehidupan yang dihadapi baik dalam
hubungan antar individu maupun kelompok. Nilai sosio budaya ini juga digunakan sebagai pedoman evaluasi terhadap tingkah
laku dalam seseorang dalam institusi seperti keluarga, banjar, dan desa pakraman,
serta seka-seka.
g. Rwabhineda
Seperti
halnya masyarakat Bali pada umumnya, masyarakat Desa Pakraman Seraya memiliki
konsep atau pandangan hidup yang dipegang teguh oleh masyarakat setempat yaitu rwe bhineda. Rwe bhineda dapat di
artikan sebagai dua kutub berbeda yang saling berlawanan dalam hidup. Seperti
baik-buruk, hitam-putih, barat-timur, atas-bawah dan lain sebagainya.
Masyarakat Desa Pakraman Seraya memaknai konsep rwebhineda dalam praktik kehidupan bermasyarakat dalam
bertoleransi. Apabila dalam berinteraksi, seseorang mengalami perlakuan buruk,
atau diperlakukan tidak baik oleh orang lain, maka hal tersebut dianggap wajar
karena pada kehidupan slalu ada sisi yang berdampingan antara orang baik dan
orang buruk. Konsep inilah yang dikenal dengan nama rwabhineda. Konsep ini mirip dengan konsep Yin dan Yang dalam
ajaran konfusius pada paham konfusiusme di China yang merupakan dua prinsip
pokok dalam alam semesta. Sebagai dua kutub yang berbeda antara kebaikan dan
kejahatan yang ada pada diri setiap manusia, semua tergantung orang yang
mengendalikan pikirannya.
Istilah “rwabhineda”
berarti dua yang dibedakan; dimaksudkan bahwa dua hal yang berbeda memiliki
hakekat tunggal, contoh: baik-buruk, suka-duka, besar-kecil, dan sebagainya. Keduanya selalu ada, berhadapan,
bersanding, berdampingan seiring sejalan, terkadang berlawanan dan bahkan
berbenturan; namun hakekatnya selalu menyatu. Rwabhineda merupakan sebuah konsep kehinduan yang oleh masyarakat
Bali diyakini sebagai salah satu tatanan nilai untuk melandasi prilaku dalam
mengarungi hidup di jagat maya ini (Chaya, dalam Yudha 2006).
Rwabhineda disebut juga konsep
dualistis merupakan konsep
dasar yang diyakini oleh masyarakat
Bali, bahwa dua kekuatan besar yang berbeda dan berlawanan adalah dua unsur yang saling tarik-menarik
dalam satu kesatuan. Konsepsi dualistis dalam masyarakat Hindu di Bali,
sebagaimana yang tertulis dalam lontar, kenyataannya telah menjadi bagian yang penting
dari tatanan socio-
cultural masyarakat Bali (Yudha, 2006). Hakikat rwa-bhinneda (dua
yang berbeda) selalu
ada di mana-mana. Baik dan
buruk dinyatakan selalu “menyertai kehidupan manusia”. Dalam kehidupan, manusia dan masyarakat
selalu disertai konflik atau perang antara kebaikan (dharma) dengan
keburukan (Putra dalam Yudha,
2006).
Bentuk-bentuk relasi oposisi biner yang membagi kategori
sosial menjadi dua klasifikasi yang saling bertentangan tetapi juga saling komplementer
dalam menciptakan hukum keseimbangan alam semesta dan kehidupan sosial seperti
telah dijelaskan di atas, masyarakat Bali juga memiliki cara pandang yang
membagi kategori-kategori sosial menjadi tiga klasifikasi sebagai satu kesatuan
yang juga bersifat komplementer. Pembagian tiga kategori ini karena masyarakat
Bali memasukkan satu kategori yang memediasi pertentangan yang terjadi antara
dua kutub oposisi biner untuk landasan mencapai titik keseimbangan tersebut.
Namun demikian ini tidak menghilangkan sifat hukum rwa-bhineda itu sendiri dalam rangka menciptakan keseimbangan dan
harmoni tersebut (Subagia,
wayan, dkk, 2006).
h. Tat
Twam Asi
Tat
twam asi dalam konsep masyarakat Bali dan masyarakat Desa
Pakraman Seraya berarti kau adalah aku, aku adalah kau. Dalam falsafah tersebut
masyarakat diajarkan melihat orang lain sebagai cerminan dirinya. Hal ini
bertujuan untuk menghindarkan seseorang untuk tidak menyakiti orang lain dan
memandang orang lain sebagai manusia yang berkedudukan yang sama, karena jika
seseorang menyakiti orang lain maka ia juga menyakiti dirinya sendiri.
Perbedaan dalam kehidupan bermasyarakat hendaknya dilandasi dengan ajaran Tat
Twam Asi yang artinya saya adalah
kamu dan kamu adalah saya, merupakan prinsip dasar dalam menjaga keharmonisan
dan keseimbangan untuk mencapai kebahagiaan hidup lahir dan batin, “Moksartam Jagadhita Ya Caiti Dharma” (Yudha, 2006).
Komentar
Posting Komentar