KAJIAN BUDAYA KEWARGANEGARAAN DALAM TRADISI MAGIBUNG MASYARAKAT DESA PAKRAMAN SERAYA, BALI




KAJIAN BUDAYA KEWARGANEGARAAN DALAM TRADISI MAGIBUNG MASYARAKAT DESA PAKRAMAN SERAYA, BALI

I NENGAH AGUS TRIPAYANA

Student of Civic Education Postgraduade School
Indonesia University of Education
Email: kerajian.ata@gmail.com


Abstract: Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi magibung di Desa Pakraman Seraya sebagai civic culture. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitan deskriptif. Penelitian ini dilakukan selama dua bulan dengan tahapan; proses pengumpulan data, kemudian reduksi data, penyajian data, dan terakhir penarikan kesimpulan. Dalam hal keabsahan data diuji dengan menggunakan teknik triangulasi. Lokasi penelitian ini adalah di Desa Pakraman Seraya, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Subjek dalam penelitian ini dipilih dengan teknik pusposive sample, yakni mereka yang mampu memberikan informsi yang dibutuhkan peneliti, antara lain: (1), Tokoh-tokoh senior (panglingsir) masyarakat Desa Pakraman Seraya (2) Bendesa Desa Pakraman Seraya, (3) masyarakat Desa Pakraman Seraya terkait yang dapat memberikan informasi mengenai fokus penelitian yang akan di teliti. Pengambilan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan partisipasi.`Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi magibung sangat sesuai dengan nilai civic culture Indonesia yakni nilai Ketuhanan, nilai kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial. Nilai ini terjabar sebagai nilai civic culture yang meliputi nilai gotong royong, tolong-menolong, toleransi dan emansipasi, kebersamaan, saling asah-asih –asuh, bertangung jawab, disipin dan taat aturan.

Keywords: Magibung tradition, civic culture.




1.                  INTRODUCTION

Budaya dan pendidikan memiliki keterkaitan yang saling mempengaruhi satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Seperti yang diketahui dalam kebudayaan terkandung nilai-nilai budaya yang dapat membentuk karakter manusia. oleh karena itu, kebudayaan dan tradisi yang dimiliki suku-suku yang ada di daerah perlu diteliti secara ilmiah dan mendalam untuk mengetahui nilai-nilai budaya yang dikandungnya, untuk dapat digunakan sebagai bahan dalam membangun pendidikan di Indonesia. Nilai-nilai budaya yang ditemukan kemudian disortir, untuk menentukan nilai-nilai mana yang dapat dipergunakan untuk membantu menyusun sistem, metode, serta bahan pendidikan yang dapat dipergunakan oleh lembaga pendidikan (Panjaitan, et al., 2014:32-35).
Berkaitan dengan hal tersebut, sebagai upaya untuk mengembangkan materi pendidikan kewarganegaraan, maka pelu dipelajari secara khusus mengenai adat tradisi serta budaya melalui pengembangan civic culture, karena secara spesifik dikatahui bahwa civic culture atau budaya warga negara merupakan budaya yang menopang kewarganegaraan yang berisikan seperangkat ide-ide yang yang dapat diwujudkan secara efektif dalam representasi kebudayaan untuk tujuan pembentukan identitas warga negara (Winataputra, 2012:57). Melalui representasi kebudayaan yang dimiliki suatu negara akan dapat membentuk karakter warga negara suatu negara yang akan menjadi ciri pembeda dari warga negara lainnya, sehingga menjadi identitas tersendiri bagi suatu negara.
Selain itu, suatu negara dalam mencapai tujuan menuju civic society atau masyarakat madani dapat diwujudkan dengan memupuk dan mengembangkan civic culture yang tumbuh dan berkembang pada suatu negara karena konsep civic culture terkait erat dengan perkembangan democratic civic society yang mempersyaratkan warganya untuk melakukan proses individualisasi, dalam pengertian setiap orang harus belajar bagaimana melihat dirinya dan orang lain sebagai individu yang merdeka dan sama tidak lagi terikat oleh atribut-atribut khusus dalam konteks etnis, agama, atau kelas dalam masyarakat (Winataputra, 2012:56).

1.1    Civic Culture
Civic culture merupakan budaya yang menopang kewarganegaraan yang berisikan seperangkat ide-ide yang dapat diwujudkan secara efektif dalam refresentasi kebudayaan untuk tujuan pembentukan identitas warganegara (Winataputra, 2012:56). Civic culture dalam hal ini hendaknya tidak diartikan secara sempit sebagai nilai-nilai golongan tertentu yang dipakai pada kelompok tertentu saja, melainkan merupakan gambaran dari karakter kewarganegaraan seorang warga negara dalam hal ini yang sesuai dengan ideologi negaranya.
Civic culture merupakan identitas khusus yang dimiliki suatu negara yang nantinya menjadi pembentuk karakter warga negara suatu negara atau membangun jiwa kewarganegaraan suatu negara dalam mencapai masyarakat madani atau civic society. Hal ini menjadi sangat penting bagi suatu negara dalam hal membentuk warga negara menjadi warga negara yang memiliki karakter yang kuat agar tidak terpengaruh oleh budaya-budaya luar.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Indonesia harus mengembangkan civic culture, dalam hal ini budaya Pancasila untuk Indonesia, yang terimplementasi dalam berbagai bentuk tradisi dan budaya yang penuh kearifan dan nilai-nilai moral dalam masyarakat.

1.2    Tradisi Magibung
Salah satu tradisi di Bali yang penuh dengan nilai-nilai luhur dan masih dipertahankan sampai saat ini adalah tradisi magibung. secara etimologis magibung bersasal dari kata dasar magi dan buwung, magi berarti kegiatan membagi-bagikan, sedangkan buwung berarti batal. Jadi dapat diartikan bahwa magibung berarti “batal membagi”. Maksudnya yaitu perintah untuk membatalkan pembagian atau memecah makanan menjadi beberapa wadah karena kurangnya tempat. Sehingga, untuk mengatasi masalah tersebut pembagian makanan dilakukan dengan cara memakan makanan yang ada secara bersama sama dalam satu wadah. Tradisi ini sudah ada sejak zaman kerajaan Karangasem (kini menjadi Kabupaten Karangasem), suatu wilayah di bagian timur Provinsi Bali.
Magibung merupakan sebuah tradisi yang diwariskan oleh para leluhur masyarakat Bali secara turun temurun, dari generasi terdahulu dan bertahan sampai dengan generasi saat ini. Dalam proses magibung penuh dengan nilai-nilai moral, gotong royong dan sptritual, sehingga sering dikatakan bahwa magibung merupakan kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di Bali serta penuh dengan nilai-nilai luhur. Tradisi magibung adalah salah satu kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat Bali dalam bentuk nilai-nilai luhur yang nantinya menjadi pembentuk karakter atau membangun jiwa kewarganegaraan masyarakat Bali secara khusus dan rakyat Indonesia secara umum dalam mencapai masyarakat madani atau civic society.  
Seperti dikutip dari Tripayana (2014) Magibung terdiri dari melalui beberapa proses, yaitu:
(1)     Proses  Persiapan
Proses persiapan yang dimaksudkan adalah persiapan yang dilakukan oleh tuan rumah (keluarga yang mengadakan upacara yadnya) dalam mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan untuk melakukan proses magibung. Adapun peralatan yang diperlukan untuk membuat gibungan (bahan magibung) yaitu: talenan (alas memotong bumbu), pisau/golok, cubluk (panci besar untuk menanak nasi), kulak (arang untuk membakar sate), pemanggangan (alat membakar sate), tusuk sate yang terbuat dari bambu, kayu bakar, tikar (sebagai alas magibung), paon (tempat membat nasi dan sayur), cubek tanah, pego (baskom dari tanah liat), daun pisang, lesung (tempat menumbung bumbu), kikian (untuk memarut kelapa) dan repe (semacam baskom terbuat dari bambu sebagai tempat magibung). Sedangkan bahan yang diperlukan untuk membuat gibungan yaitu: batang pisang (bahan membuat sayur ares), bumbu lengkap, minyak, kelapa, daging babi atau ayam, daun belimbing, beras dan minyak.
(2)     Proses Pengolahan
Pada tahapan ini, akan terlihat semua nilai-nilai positif dalam magibung seperti nilai sosial-budaya dan religi yang sangat kental terdapat dalam tradisi magibung. Semua kerabat, tetangga dan undangan akan bahu membahu bergotong royong mengerjakan semua pekerjaan dari awal sampai selesai, mulai dari memotong babi atau ayam, bakar sate, mebat (mengolah gibungan), sampai membuat gibungan. Hanya saja dalam proses mebat tak sembarang orang dapat melakukannya, karena harus memiliki ketrampilan mengolah bumbu dan membuat gibungan, yang biasa disebut tukang ebat.
(3)     Proses magibung
Apabila masing-masing orang sudah mendapatkan kelompok makan, yang terdiri dari delapan orang yang biasa disebut satu sela, masing-masing kelompok akan duduk sambil menunggu istruksi makan. Masing-masing sela dipinpin oleh seorang ketua, setelah ada instruksi untuk makan, barulah magibung akan dilakukan. Beberapa orang yang belum mendapat giliran makan, akan bertindak sebagai pengayah (pelayan) untuk melayani semua keperluan yang diminta oleh peserta magibung, proses ini akan dilakukan secara bergantian. Ketika beberapa kelompok selesai makan, kelompok tersebut tidak boleh langsung berdiri dan meninggalkan tempat, melainkan harus menunggu kelompok lain yang belum selesai makan.
Magibung sering digelar berkaitan dengan berbagai jenis upacara adat dan upacara keagamaan khususnya Umat Hindu, seperti upacara potong gigi, otonan anak, pernikahan, ngaben, pemelaspasan, piodalan di Pura. Tradisi magibung ini kemudian berkembang pula dalam berbagai ranah kehidupan, dengan berbagai bentuk, fungsi dan maknanya. Magibung penuh dengan nilai-nilai kebersamaan. Dalam magibung secara umum tidak ada perbedaan jenis kelamin, kasta atau catur warna. Anggota satu sela, misalnya, bisa terdiri laki dan perempuan, atau campuran dari golongan brahmana, ksatrya, wasya dan sudra. Mereka bersama-sama menghadapi bhoga (hidangan) sebagai berkah Hyang Widhi. Nilai kebersamaan ini telah dicanangkan sejak jaman I Gusti Anglurah Ktut Karangasem, dan sudah menjadi tradisi hingga kini, baik di Karangasem maupun Lombok.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa terdapat nilai-nilai civic culture dalam tradisi magibung, namun karena perkembangan zaman, tradisi ini mulai ditinggalkan. Hanya sebagian kecil daerah di Bali yang rutin melaksanakannya.
Selain itu, belum ada penelitian yang mengkaji tentang tradisi ini sehingga tradisi ini seperti kehilangan maknanya. Oleh karena itu, perlu adanya suatu penelitian secara utuh mengenai tradisi magibung ini. Untuk itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi magibung di Desa Pakraman Seraya yang merupakan civic culture, yang perlu dilestarikan karena merupakan nilai pembentuk identitas bangsa..


2.                   METODOLOGI
2.1. Pendekatan dan Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode etnografi. Pemilihan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini didasarkan pada permasalahan yang akan dipecahkan oleh peneliti.

2.2. Lokasi Penelitian
Tempat penelitian adalah di Desa Pakraman Seraya, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan bahwa masyarakat di daerah tersebut dikenal sebagai masyarakat yang melahirkan tradisi magibung, dan memiliki sejarah yang kuat mengenai tradisi magibung, serta masih menjaga eksistensi tradisi magibung sampai dengan saat ini.

2.3. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini dipilih dengan teknik pusposive sample yakni mereka yang mampu memberikan informsi yang dibutuhkan peneliti antara lain: (1), Tokoh-tokoh senior (panglingsir) masyarakat Desa Pakraman Seraya (2) Bendesa Desa Pakraman Seraya, (3) masyarakat Desa Pakraman Seraya terkait yang dapat memberikan informasi mengenai fokus penelitian yang akan di teliti.

2.4. Teknik Pengumpulan Data
Pengambilan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan partisipasi dimana peneliti sendiri ikut berbaur dalam masyarakat untuk menggali informasi mengenai tradisi magibung.
Ketika melaksanakan penelitian ini ada etika penelitian yang juga dilaksanakan dan menjadi pedoman dasar dalam pengambilan data di lapangan.

2.5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan/verifikasi dimana keabsahan data diuji dengan teknik triangulasi.

Data Collecting

Data Reduction

Conclusion/
Verification

Penyajian Data
 









(Miles dan Huberman, 1992:16-18)

3.                   RESULTS AND DISCUSSION
Penelitian telah dilakukan sesuai dengan metode yang ada dengan melakukan pengumpulan data melalui wawancara dan observasi serta berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.
Wawancara dengan I Wayan Purna (Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Karangasem), diketahui bahwa memang tradisi magibung penuh dengan nilai-nilai luhur Bangsa Indonesia yang sesuai dengan ideologi bangsa dan memang sudah diwariskan dari generasi ke generasi. Hal ini terbukti dalam observasi dan partisipasi pada setiap proses pelaksanaan dan persiapan pelaksanaan magibung. Nilai-nilai tersebut diantaranya:
1.       Nilai Ketuhanan
Nilai Ketuhanan tercermin sebelum magibung dilaksanakan. Sebelum proses magibung dilakukan biasanya akan didahului dengan ngejot gibungan, yaitu prosesi menghaturkan makanan yang akan dipakai magibung kepada leluhur dan para Dewa. Prosesnya, tuan rumah yang mengadakan upacara yadnya akan mengambil satu gibungan beserta perlengkapan sesajen lainnya. Gibungan tersebut akan dihaturkan kepada para Dewa yang bersemayam di sanggah, yaitu tempat pemujaan umat hindu yang berada pada masing-masing rumah tangga. Tujuannya adalah sebagai wujud terimakasih kepada para Dewa atas segala rejeki dan karunia yang diberikan sehingga pada hari itu bisa dilakukan magibung. Setelah proses ngejot ini selesai barulah pelaksanaan magibung boleh dilaksanakan. Biasanya magibung belum akan dilaksanakan sebelum ngejot selesai dilakukan pihak penyelenggara upacara yadnya.
2.       Nilai Kemanusiaan
Nilai kemanusiaan tercermin  di setiap proses pelaksanaan dan persiapan magibung. Pada saat magibung dilaksanakan setiap orang akan mencari pasangan yang akan diajak magibung. Satu gibungan (makanan yang akan dipakai magibung) dimakan oleh enam orang, sehingga masing-masing peserta akan mencari enam orang untuk diajak magibung. Disini terlihat adanya nilai keadilan, dimana orang yang diajak magibung diperlakukan sama. Nilai keadilan lainnya dapat terlihat dari pemilihan ketua magibung. ketua yang dipilih berdasarkan musyawarah mufakat tanpa melihat latar belakang ekonomi maupun jabatan. Semua orang berhak untuk dipilih dan memilih. Selain itu apabila ada peserta yang melanggar aturan-aturan magibung, seperti mendahului makan atau mendahului bangun dari tempat duduk, bersendawa saat makan, mengambil bagian orang lain akan diberikan sanksi teguran maupun sanksi sosial lainnya, tanpa pengecualain. Semua peserta yang melakukan pelanggaran akan diberikan sanksi oleh peminpin atau ketua kelompok magibung.
3.       Persatuan
Nilai persatuan sangat kental tercipta dalam pelaksanaan magibung. Setiap orang yang datang dalam proses magibung ini, secara sadar dan bertanggung jawab bahu-membahu mengambil dan membagi pekerjaan untuk menyiapkan gibungan serta membantu keluarga yang memiliki acara untuk menyelesaikan upacara yadnya  yang dilaksanakan keluarga tersebut. Biasanya para peserta akan datang dari jam 4 pagi. Setelah diberikan hidangan oleh tuan rumah berupa kopi dan roti, para peserta yang umumnya adalah undangan dari keluarga yang melaksanakan upacara yadnya, dengan inisiatif masing-masing untuk mengambil pekerjaan. Diantaranya; memarut kelapa memotong daging, meracik dan memasak bumbu, membuat olahan sayur dan sate, membakar sate, menanak nasi, dan berbagai pekerjaan lainnya dikerjakan secara bersama-sama tanpa ada rasa keterpaksaan.
4.       Permusyawaratan Perwakilan
Nilai permusyawaratan Perwakilan dapat dilihat dalam berbagai aktivitas magibung. misalnya; saat segala persiapan magibung telah selesai disiapkan oleh pengayah, maka beberapa orang akan berembug untuk memilih salah satu perwakilan yang akan meminpin jalannya magibung. selain memilih peminpin magibung secara umum, sebelum proses magibung dilaksanakan juga didahului dengan memilih peminpin di tiap kelompok kecil pada peserta magibung. Pemilihan ini dilaksanakan secara musyawarah dan penuh rasa kekeluargaan untuk mencapai mufakat. Peminpin magibung bertugas menanyakan kesiapan masing-masing kelompok magibung melalui ketua-ketua kelompok yang ada pada masing-masing kelompok magibung. Setelah semuanya siap peminpin magibung tersebut bertugas memulai dan mengakhiri prosesi magibung tersebut. sedangkan jalanya magibung masing-masing kelompok magibung diserahkan pengaturanya kepada ketua masing-masing kelompok magibung.
5.       Keadilan sosial
Nilai keadilan sosial dalam pelaksanaan magibung dapat dilihat dari sikap masyarakat dalam memperlakukan masing-masing individu. Dalam prosesi magibung semua orang yang hadir diperlakukan secara sama, sama dalam hal pelayanan, serta sama dalam hal pembagian tugas. Setiap individu akan menempati posisi yang sama secera bergantian. Tidak ada perbedaan kelas sosial dalam pelaksanaan magibung. Semua orang dipandang sama, walaupun orang yang akan diajak magibung tersebut lebih tinggi secara ekonomi, pendidikan, jabatan, kasta maupun kelas-kelas sosial lainnya. Pada saat persiapan nilai kemanusiaan terlihat saat beberapa orang bertugas menyiapkan proses magibung, yang biasa disebut pengayah. Pengayah merupakan pelayan yang melayani keperluan atau permintaan dari peserta magibung. Para peserta biasanya saat magibung biasanya minta dibawakan nasi, lauk, sayur, air ataupun yang lainnya. Para pengayah ini akan secara sukarela dan penuh keikhlasan melayani segala permintaan dari peserta magibung. Tugas pengayah akan dilakukan secara bergilir, orang yang sudah dilayani saat magibung, setelah selesai makan, secara sukarela ia akan mengganti posisi pengayah sebelumnya, serta menawarkan pengayah tersebut untuk makan dan dilayani. Selain itu makanan yang dimakan juga sama. Tidak ada yang lebih banyak atau lebih enak. Karena semua dibuat bersama sehingga semua orang yang hadir dalam magibung tersebut memakan makanan yang sama dalam kondisi yang sama.
Pernyataan tersebut ditambahkan oleh I Nyoman Matal  (Bendesa Desa Pakraman Seraya) , beliau menyatakan bahwa rahasia kuatnya solidaritas masyarakat di Desa Pakraman Seraya, salah satunya dikarenakan masyarakat setempat yang masih kuat memegang teguh tradisi magibung tersebut.
Selanutnya itu menurut I Gede Nala Antara (Dosen dan pengamat Kebudayaan) menyatakan bahwa pada tradisi magibung terkandng nilai-nilai civic culture yang meliputi:
1.       Nilai Gotong Royong
Semangat gotong royong masyarakat dalam melaksanakan magibung terlihat dalam setiap tahapan proses persiapannya. Semua calon peserta magibung bekerja dengan sungguh-sungguh tanpa terkecuali. Mereka bekerja tanpa dikomando. Masing-masing orang sudah sadar akan tugas dan kewajibanya masing-masing. Masing-masing orang akan membagi diri, ada yang bekerja memasak nasi, memasak sayur, membuat sate, membakar sate menyiapkan bumbu, memotong daging dan lain sebagainya. Satu pekerjaan yang paling sulit dalam magibung, sehingga membutuhkan keahlian khusus yaitu meracik bahan gibungan. Orang yang membuat dan meracik gibungan biasa disebut tukang ebat, sedangkan proses membuat gibungan disebut mebat.
2.       Tolong-menolong
Magibung penuh dengan nilai-nilai kebersamaan, diantaranya rasa saling menolong antar manusia. masyarakat Bali terkenal sebagai masyarakat yang memiliki solidaritas yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari proses pelaksanaan magibung. Pada proses persiapan magibung hampir semua jenis pekerjaan tidak dapat dikerjakan sendiri. satu jenis pekerjaan harus dikerjakan lebih dari 2-3 orang, karena sifat pekerjaan yang banyak serta membutuhkan tenaga yang besar. Seperti; memarut kelapa, memotong daging, menanak nasi, meracik bumbu. Sehingga, untuk dapat menyelesaikan pekerjaan tersebut membutuhkan orang lain. Dengan adanya saling tolong menolong tersebut dapat meningkatkan kepdulian antar masyarakat.
3.       Toleransi dan Emansipasi
Nilai toleransi dan emansipasi dalam magibung dapat dilihat dariproses pembagian kerja. Pekerjaan yang berat biasanya akan dikerjakan oleh pihak pria. Para pria biasanya berangkat dari rumah pukul 04.00 dini hari menuju lokasi pelaksanaan magibung dan bekerja mempersiapkan makanan sampai pukul 09.00 pagi. Sedangkan pihak wanita datang pukul 08.30 dengan membawa sembako yang akan diberikan kepada pihak keluarga yang mengadakan magibung. pihak perempuan datang hanya untuk makan saja, sedangkan pekerjaannya sudah dilakukan oleh pihak pria. Nilai toleransi lainnya terlihat saat para remaja yang menjadi pengayah untuk  melayani para perempuan dan orang tua yang sedang magibung, jika ada hal yang kurang akan diambilkan oleng pengayah tersebut. selain itu para orang tua anak-anak dan wanita biasanya akan didahulukan dalam proses magibung. hal tersebut untuk menghargai dan manjaga toleransi.
4.       Kebersamaan
Nilai kebersamaan sangat kuat terjalin dalam tradisi magibung. keersamaan terjalin sejak awal persiapan magibung, proses magibung, sampai selesainya pelaksanaan magibung. magibung penuh dengan nilai-nilai kebersamaan, rasa kebersamaan menyebabkan timbulnya rasa persaudaraan, cinta kasih antar sesama manusia. kebersamaan menjadi penting dalam magibung, rasa kebersamaan dipupuk melalui mengerjakan pekerjaan secara besama-sama, makan bersama-sama dengan lauk yang sama.
5.       Saling asah-asih –asuh
Saling asah-asih-asuh merupakan konsep bermasyarakat bagi masyarakat Bali. Saling asah-asih-asuh berarti saling memberi, saling menyayangi, dan saling menjaga satu sama lain.masing-masing individu diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk meningkatkan kepedulian antar sesama warga masyarakat. Dengan dilaksanakannya magibung dapat meningkatkan kepekaan serta jiwa sosial masyarakat. masyarakat akan terbiasa untuk salin menyayangi dan saling menghargai karena interaksi yang terjalin sangat kuat. Dengan begitu setiap orang yang sedang magibung dapat makan dengan kenyang tanpa rasa sungkan. Sambil makan, orang-orang dapat berinteraksi, bertukar pikiran, mencurahkan perasaan, bercanda gurau, serta bisa saling lebih mengenal satu sama lain. Dengan pola interaksi yang baik tersebut dapat mempererat persaudaraan sesama warga, sehingga dapat mengikis permusuhan serta menurunkan tingkat kriminalitas dimasyarakat.




6.       Bertangung jawab
Setiap orang dilatih untuk bertanggung jawab pada tugas dan kewajibannya. Jika salah satu peserta magibung tidak menyelesaikan tugasnya maka akan mengganggu proses magibung. misalnya saja contoh  yang sederhana, sesorang yang bertugas menanak nasi untuk semua peserta tidak menyelesaikan pekerjaanya, akan mengganggu proses magibung. Masing-masing orang akan berusaha menyelesaikan tugasnya dengan baik karena rasa tanggung jawab yang tinggi untuk tidak mengecewakan peserta magibung lainnya. Biasanya orang yang tidak dapat menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya akan diberikan sanksi oleh masyarakat berupa teguran, dikucilkan dari pergaulan, mnjadi bahan omongan dan lain sebagainya.
7.       Disipin dan taat aturan
Tradisi magibung penuh dengan aturan yang ketat, selain aturan yang ketat sanksi bagi yang melanggar juga ditakuti masyarakat. sanksi yang ada umumnya bukan berupa materi atau sanksi keras lainnya, melainkan sanksi sosial, seperti rasa malu karena dicemooh, dikucilkan dari pergaulan, sampai pada sanksi teguran. Beberapa aturan dalam magibung antara lain; mendahulukan wanita anak-anak dan orang tua, tidak boleh merebut atau mengambil makanan bagian orang lain, tidak diperbolehkan makan mendahului, atau selesai makan langsung berdiri mendahului yang lain, tidak boleh bersendawa, kentut, atau berbicara keras saat makan, duduk harus mersila bagi pria dan matimpuh bagi wanita. Lutut kanan agak menonjol ke depan dan lutut kiri menonjol kebelakang. Saat makan tangan yang mencari mulut, tidak boleh berbalik mulut yang mencari makanan. Sisa makanan tidak boleh ditaruh ditempat makan, tapi dibuang ditempat yang telah disediakan. Yang boleh mengambil lauk dan menaruhnya diatas gundukan nasi hanya ketua-ketua dimasing-masing kelompok magibung, kecuali atas perintah ketua kelompok magibung. lauk yang dimakanpun harus dibagi secara merata, tidak boleh satu orang mengambil dagingnya yang lain diberikan sayurnya saja atau sebaliknya. Orang yang sedang sakit biasanya tidak akan di ikutkan dalam magibung, karena dihawatirkan menularkan penyakit yang dideritanya. Setiap orang akan berusaha semaksimal mungkin untuk menaati aturan magibung karena kesadaran serta takut akan sanksi sosial yang diberikan bagi yang melanggar. Selain itu, para peserta magibung biasanya akan datang tepat waktu yakni mulai pukul lima pagi, para peserta magibung akan malu jika mereka datang terlambat. Setiap orang akan datang dengan pakaian yang bersih dan rapi. Pakaian yang biasa digunakan adalah pakaian adat Bali dengan menggunakan kain kamben, senteng dan udeng. Penggunaan pakaian adat karena pelaksanaan magibung berbarengan dengan upacara keagamaan.


Berdasarkan hal tesebut, dapat dilihat bahwa tradisi magibung merupakan suatu simbol keharmonisan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, serta manusia dengan Tuhannya. Keharmonisan tersebut dapat terlihat dari proses persiapan pelaksanaan magibung sampai dengan selesainya magibung dilaksanakan dimana proses pelaksanakannya dilakukan secara bersama-sama, semua orang yang hadir berbaur menjadi satu tanpa mempermasalahkan latar belakang sosial, ras dan agama.
Hal ini dapat menjadi pembelajaran yang bagus dalam membelajarkan generasi muda dalam masyarakat yang bertindak pula sebagai lembaga pendidikan selain sekolah.


CONCLUSIONS
Tradisi magibung memuat nilai civic culture-nya bangsa Indonesia yakni nilai Ketuhanan, nilai kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial. Nilai ini terjabar sebagai nilai civic culture yang meliputi nilai gotong royong, tolong-menolong, toleransi dan emansipasi, kebersamaan, saling asah-asih –asuh, bertangung jawab, disipin dan taat aturan.
Jika dilihat dari sudut pandang pendidikan, tradisi magibung dapat dijadikan sebagai contoh nyata bagi pembelajaran nilai-nilai moral serta civic culture yang efektif bagi  siswa.


REFERENCES
1.     A. P. Panjaitan, et al., 2014, Korelasi Kebudayaan dan Pendidikan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
2.     Agus Tripayana I Nengah, “Tradisi Magibung di Desa Pakraman Seraya, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem, Dilihat Dari Kajian Sosio-Budaya dan Religius”, S.Pd Thesis, Civic Education, Universitas Pendidikan Ganesha, 2014.
3.     Gabriel, and S. Verba, “Civic Culture: Political Ettitudes and Democracy in Five Nations”, SAGE Publications,pp.20-23, 1989.
4.     I. Docherty, R. Goodlad, and R. Paddison, “Civic Culture, Community and Citizen Participation in Contrasting Neighbourhoods”, Urban Studies, vol.38,no.12,pp.22-25, 2001.
5.     J.  Sramek,Seeking Common Ground through Oral Tradition”, BiBlical  Theology BulleTin, vol.43,no.4,pp.212–220, 2013.
6.     Jacobs, Struan, & I. Tregenza, “Rationalism and tradition: The Popper–Oakeshott Conversation”, European Journal of Political Theory, vol.13,no.1,pp.3-24, 2014.
7.     Kwang-Il Yoon, “The Cultural Effects of Individualism and Collectivism on Social Capital”. International Are Review, vol.13,no.2,pp.187-212, 2010.
8.     M.B. Miles, & A.M. Huberman, 1992, Analisis data kualitatif: buku sumber tentang metode-metode baru. Terjemahan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi dari judul Qualitative Data Analysis. Jakarta: Univesrsitas Indonesia Press.
9.     Winataputra, 2012, Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Persefektif Pendidikan untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa (Gagasan, instrumentasi, dan Praksis). Bandung: Widya Aksara Pres.


«««


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENSYUKURI BERKAH KEBERAGAMAN

PEMILU INDONESIA ANTI PANCASILA?