MENSYUKURI BERKAH KEBERAGAMAN
Oleh: I Nengah Agus
Tripayana
Indonesia
adalah salah satu negara dengan tingkat keberagaman tertinggi di dunia.
Keberagaman yang ada di Indonesia mencakup banyak hal, seperti; keberagaman
suku, agama, ras, dan antar golongan. Jumlah suku yang ada di Indonesia
berjumlah 1.340 suku yang tersebar di berbagai pulau. Jumlah ragam bahasa di Indonesia, terbanyak
nomor dua di dunia setelah Papua Nugini, yaitu sebanyak 742 bahasa daerah.
Selain itu, Indonesia memiliki 6 Agama yang diakui secara resmi yaitu Agama
Hindu, Budha, Kristen Protestan, Katolik, Islam dan Khong Hu Chu, serta 187
organisasi penghayat kepercayaan yang telah diakui pemerintah (sensus BPS Tahun
2010). Selain keberagaman tersebut, masih terdapat berbagai macam keberagaman
lainnya, seperti; tarian adat, pakaian adat, makanan khas, rumah adat, flora
dan fauna, serta berbagai keberagaman lainnya yang tersebar diseluruh wilayah
nusantara dari Sabang sampai Merauke. Dengan keberagaman tersebut, tidak salah
jika Indonesia dijuluki sebagai salah satu negara paling pluralis di dunia.
Keberagaman
di Indonesia merupakan suatu keniscayaan untuk di hindari. Sudah menjadi takdir
bahwa Tuhan menciptakan Indonesia sebagai sebuah negara yang menaungi semua keberagaman.
Keberagaman yang ada saat ini merupakan suatu proses panjang yang bertalian
erat dengan proses sejarah berdirinya
Bangsa Indonesia. Keberagaman yang kita warisi sekarang ini, sudah ada sejak ribuan
tahun sebelum Negara Indonesia berdiri. Sebelum Indonesia memproklamirkan diri sebagai
sebuah negara kesatuan yang berbentuk republik, wilayah-wilayah di nusantara terbagi
menjadi beberapa daerah kekuasaan yang pemerintahannya berbentuk kerajaan. Kerajaan
yang pertama tercatat dalam sejarah di Indonesia yaitu kerajaan Kutai, yang
berdiri pada tahun 400 Masehi, dengan rajanya yang bernama Mulawarman, sampai
dengan masa kerajaan Majapahit yang berdiri pada Tahun 1293 yang mencapai zaman
keemasannya pada pemerintahan raja Hayam Wuruk dengan Patihnya Gajah Mada. Pada
masa kerajaan Kutai sampai dengan munculnya kerajaan Majapahit telah terjalin
hubungan yang harmonis antara berbgaai pemeluk agama saat itu, yaitu Agama
Hindu dengan berbagai aliran dan sektenya serta Agama Budha dengan berbagai
aliran dan sektenya yang memiliki berbagai macam tradisi persembahyangan
seperti upacara Tantrayana dan upacara
Crada (upacara menghormati arwah
nenek moyang yang sudah meninggal).
Berbagai
agama, aliran kepercayaan serta sekte yang hidup dibawah naungan Kerajaan
Majapahit pada masa itu, semua dapat hidup rukun, saling menghormati dan penuh dengan
nilai-nilai toleransi. Tidak pernah terjadi gesekan yang besar antar aliran
kepercayaan pada masa itu. Semua menjalankan ritual sesuai ajaran agama
masing-masing, tanpa pernah mengganggu satu sama lain. Bahkan dalam beberapa
hal diceritakan pula, antar pemeluk agama saling bergotong royong mendirikan tempat
ibadah untuk penganut kepercayaan yang lain. Hal ini dapat dilihat dari
beberapa peninggalan, seperti bangunan candi yang dibuat dan dipakai bersama
untuk melakukan berbagai macam prosesi keagamaan, bahkan hal ini masih tetap
dilakukan sampai dengan saat ini. Beberapa peninggalan yang masih ada sampai
dengan saat ini seperti candi Borobudur (candi agama Budha pada abad ke IX),
dan candi Prambanan (candi Agama Hindu) candi Mendut, dan berbagai bangunan
candi lainnya yang masih ada sampai dengan saat ini.
Begitupun
ketika nusantara memasuki era kolonialisme, dengan datangnya bangsa-bangsa
barat yang menjajah dan menjarah kekayaan bangsa ini, seluruh rakyat Indonesia
dari sabang sampai merauke bahu-membahu untuk mengusir para penjajah keluar
dari bumi pertiwi. Adanya kesamaan nasib dan penderitaan dibawah penjajahan
bangsa asing menjadi alasan bagi rakyat saat itu untuk menyatukan barisan
mengusir para penjajah pergi dari tanah air. Tidak ada lagi sekat-sekat
kesukuan, ras, agama, atau antar golongan, semua rakyat Indonesia berfokus pada
satu hal, yaitu bersatu untuk merdeka. Mereka sadar bahwa perpecahan hanya akan
menimbulkan kerugian bagi Bangsa Indonesia sendiri. Hingga pada akhirnya di
tanggal 17 Agustus 1945 semua usaha tersebut membuahkan hasil, Sukarno dan Moh.
Hatta atas nama Bangsa Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara merdeka
dengan menetapkan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara dengan semboyan
Bhineka Tunggal Ika.
Semboyan
negara kita yang termaknum dalam lambang negara yaitu Bhineka Tunggal Ika yang
berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua, juga merupakan simbol pengakuan
adanya perbedaan namun tetap mengutamakan persatuan. Semboyan itu dipilih
karena adanya kesadaran dari para founding
fathers kita bahwa Indonesia sebagai negara yang majemuk perlu dipersatukan
tanpa perlu diseragamkan. Oleh karena itu dibentuk suatu idologi baru yang
diberinama Pancasila, Pancasila hadir sebagai antitesa kolonialisme barat yang
cenderung individualis-kapitalis, serta aliran timur yang sosialis-komunis.
Pancasila sebagai suatu ideologi baru yang berbeda dengan ideologi lainnya
merupakan suatu ideologi yang sempurna, merupakan pertemuan antara nilai
positif antara ideologi marxisme di timur dan ideologi liberalisme di barat.
Selain
itu, terdapat pula berbagai macam kearifan lokal yang ada di Indonesia dan penuh
dengan nilai-nilai moral dan persaudaraan. kearifan lokal tersebut sudah ada
sejak zaman dulu dan masih dipertahankan sampai dengan saat ini. Berbgai
kearifan lokal tersebut, diantaranya;
1. Tri Hita Karana
di BAli
Tri
Hita Karana berasal dari kata Tri yang berarti tiga,
Hita yang berarti kebahagiaan, dan Karana yang berarti penyebab. Tri Hita
Karana berarrti tiga penyebab kebahagiaan. Dalam menjalani kehidupan di dunia
ini, ada tiga penyebab kebahagiaan seseorang. Tiga penyebab kebahagiaan
tersebut, diantaranya; Parhyangan
(menjaga hubungan baik antara manusia dengan Tuhan), Pawongan (menjaga hubungan baik antara manusia dengan manusia
lainnya), Palemahan (menjaga hubungan
baik antara manusia dengan lingkungan atau alam). Dengan demikian, untuk
mencapai kebahagiaan yang hakiki, orang Bali diharapkan dapat mengaplikasikan
ajaran Tri Hita Karana dengan jalan merawat hubungan yang baik dengan Tuhan,
dengan manusia lainnya (tanpa melihat agama, dan suku) serta dengan alam tempat
ia tinggal.
2. Potong di kuku rasa di daging, sagu salempang
dipata dua di Maluku
Semboyan orang maluku
tersebut mengandung makna yang sangat dalam. Potong di kuku rasa di daging, berarti bahwa sakit yang dialami
oleh seseorang, juga akan dirasakan oleh orang lain, yaitu ale rasa beta rasa (apa yang kamu rasakan, juga aku rasakan). Sedangkan
sagu salempang dipata dua, bermakna
bahwa setiap manusia hendaknya dapat hidup berdampingan saling berbagi dengan
yang lain. Dengan demikian setiap orang di Maluku diharapkan bisa saling
menjaga agar tidak menyakiti orang lain, serta dapat hidup berdampingan dengan
berbagai satu sama lain, sebagaimana layaknya saudara sendiri.
3. Piil
Pasenggiri (Lampung)
Piil
Pasenggiri merupakan falsafah hidup atau pedoman
dalam bertindak bagi setiap warga masyarakat Lampung, yakni: menemui muimah (ramah lingkungan), nengah nyappur (keseimbangan
lingkungan), sakai sambayan
(pemanfaatan lingkungan), juluk adek
(pertumbuhan lingkungan). Konsep Piil
Pasenggiri mirip dengan konsep Tri Hita Karana di Bali. Nilai-nilai yang
ditekankan adalah menjaga keseimbangan dan keharmonisan lingkungan.
Nilai-nilai
kearifan lokal yang terkandung dalam berbagai adat dan tradisi yang ada di
Indonesia tersebut, hendaknya tetap dilestarikan agar masyarakat Indonesia
tidak kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang penuh dengan nilai-nilai
gotong royong, persatuan, tenggang rasa, toleransi dan penuh dengan rasa
kekeluargaaan. Namun demikian, akhir-akhir ini Bangsa Indonesia sedang
mengalami berbagai ujian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selama 20
Tahun terakhir, Bangsa Indonesia diterjang berbagai konflik yang
mengoyak-ngoyak persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini berbanding terbalik dengan kearifan lokal
yang ada merupakan jati diri Bangsa Indonesia yang penuh dengan nilai-nilai
persaudaraan dan persatuan bangsa. Berbagai kasus yang perah melanda Indonesia
diantaranya; konflik horizontal yang terjadi di ambon Tahun 1999 sampai 2014,
konflik Poso Tahun 1998, Konflik etnis Madura di sambas Tahun 1999, gerakan
darurat sipil di Aceh, konflik Syiah di Jawa Timur, Organisasi Papua Merdeka
(OPM), konflik yang dialami kelompok Ahmadiyah, dan berbagai konflik vertikal
dan horizontal yang belum selesai sampai dengan saat ini. Munculnya streotype antara satu kelompok dengan
kelompok lainnya yang berbeda keyakinan menjadi pemicu konflik antar agama yang
dilanjutkan dengan aksi kekerasan, pembakaran tempat ibadah sampai pembunuhan.
Negara
Indonesia tidak ubahnya seperti pelangi yang menghiasi langit. Kombinasi warna
yang membentuk pelangi itulah yang justru menyebabkan pelangi menjadi terlihat indah
dan menarik dipandang mata. Pelangi tentu tidak akan menjadi indah kalau
warnanya seragam. Sebuah taman bunga akan semakin indah dipandang mata karena keanekaragaman
jenis bunga dan yang ada didalamnya. Taman bunga tidak akan menarik jika bunga
yang ada didalamnya hanya terdiri dari satu jenis bunga, atau satu jenis warna
saja. Begitu pula dengan Negara Indonesia dengan ribuan suku, bahasa, dan
berbagai keberagamannya yang membuat Indonesia menjadi unik dan menarik, agar
semakin menarik maka semua perbedaan tersebut harus diikat menjadi satu
kesatuan didalam perbedaan tanpa perlu diseragamkan. Perbedaan tersebut apabila
dirawat dengan baik akan menjadi rahmat bagi Bangsa Indonesia, begitu pula
sebaliknya apabila keberagaman tersebut tidak disyukuri sebagai suatu anugrah,
maka akan dapat menimbulkan konflik dan perpecahan.
Sejarah
panjang yang melatar belakangi berdirinya negara Indonesia yang penuh
nilai-nilai kekeluargaan dan toleransi, hendaknya menjadi semangat bagi para
generasi muda saat ini untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Toleransi
bukanlah sesuatu yang baru bagi bangsa ini, jauh sebelum negara ini berdiri,
masyarakat Indonesia sudah terbiasa mempraktekannya dalam kehidupan
sehari-hari. Sebagai negara yang besar dengan keanegaragaman yang tinggi, tentu
sering mengalamai pasang surut dan gesekan dalam hidup bernegara, namun hal
tersebut tidak menjadi alasan untuk mentolerir adanya perpecahan. Sama halnya
dengan sebuah keluarga besar yang hidup bersama dalam satu rumah, sudah pasti
akan lebih sering terjadi permasalahan karena banyaknya aktivitas didalam rumah
tersebut. Namun demikian, hendaknya segala permasalahan tersebut ditanggapi
secara bijaksana dan diselesaikan secara musyawarah dan penuh rasa kekeluargaan
sesuai dengan ideologi Bangsa Indonesia yaitu Pancasila, khususnya sila ke 4.
Pancasila sebagai suatu falsafah bagi Bangsa Indonesia merupakan antitesa dari
semua permasalahan yang ada di Indonesia.
Sebagai
sebuah negara yang menjunjung tinggi hukum, hendaknya menempatkan hukum sebagai
panglima. Oleh karenanya, segala hal permasalahan yang muncul di negri ini,
hendaknya diselesaikan melalui proses hukum yang ada. Hukum diposisikan sebagai
alat untuk menegakan kebenaran kepada semua individu dan kelompok tanpa
memandang ukuran mayoritas dan minoritas. Dengan begitu akan muncul kepercayaan
publik terhadap aparat penegak hukum di negri ini. Sehingga tidak ada satu
kelompok yang merasa mendominasi, serta dapat memaksa atau melakukan persekusi
terhadap kelompok lain yang dianggap lebih lemah. Dengan demikian maka
persatuan dan kesatuan bangsa tidak terancam. Negara harus hadir sebagai
penengah dalam dalam berbagai persoalan bangsa serta menjadi hakim yang adil
bagi setiap permasalahan yang muncul.
Monggo masukannya
BalasHapus